Sabtu, 08 Mei 2010

Jika yang Berbicara itu Hati


Sore itu, di sebuah kamar kost berukuran 3 x 3 meter, seorang mahasiswi tingkat akhir tersenyum-senyum sendiri sambil memegang handphone yang hampir tak pernah lepas dari genggamannya sejak satu jam yang lalu. Yups, via media komunikasi maya, dia sedang asyik ‘kirim-terima’ kalimat-kalimat candaan dengan teman dekat yang dia anggap seeorang yg cukup spesial saat itu. Obrolan itu terhenti saat orang yang berada kurang 48 km dari perempuan itu duduk, mengirimkan teks terakhir.

okay,doakan sy y,, Insya Allah sy nyampe dpn kostan kmu 5 jam dr skr. Assalamu'alaikum =)

Sesaat perempuan berkerudung itu melihat ke arah jam dinding Winnie The Pooh yang bertengger di samping foto kedua orang tuanya.

"hmm,, jam 8 ya..", gumamnya.

Kemudian dengan segera jari-jarinya menari di atas keyboard handphone kesayangannya itu.

sipp.. hati2 ya.. diantos.. hehe,, wa'alaikumsalam =)

Diiringi senyum sumeringah dia beranjak dari tempat duduknya dan mengambil perlengkapan mandi+handuk jingga dari sekian ornamen wana jingga yang ada di kamarnya itu.

"Saatnya mandi, trus.... sholat ashar, trus... back to 'pacaran' sama laptop kesayangan menggarap revisi draf UP deh sambil 'nunggu' jam delapan tiba,, hihihi..", ujarnya di depan cermin yang juga berbingkai berwarna jingga.

Jam setengah tujuh sore.

Terdengar tetesan air hujan yang kian lama kian deras. Terlihat perubahan raut wajah dari gadis yang bernama Vanya itu. Dia mulai meragukan pertemuan orang yang hampir tiga bulan tidak bertemu dengannya.

"hmmfff,, ya sudahlah ya,,, mungkin bukan sekarang", batinnya.
Sejenak dia melilik handphonenya, namun dia mengurungkan niatnya untuk meraih benda berbalut karet jingga miliknya itu. Dia lebih memilih kembali mencoba fokus merangkai ulang kembali kata demi kata membentuk kalimat sesuai EYD yang beberapa waktu yang lalu dicorat-coret dosen penelaahnya.

Namun, baru 20 menit dia bertatapan dengan laptop kesayangannya itu, konsentrasinya kembali buyar. Ada yang mengganjal di bernaknya. Tidak lama dia beranjak dari tempat duduknya dan merjalan menuju teras depan kostanya. Didapatinya perempuan yang umurnya setahun lebih muda baru saja datang dari luar sambil memegangi payung yang cukup basah.

"Mau kemana teh hujan-hujan begini?"

"Nggak kok, nggak kemana-mana, cuma mau liat hujan aja."

"Kayaknya ini mah hujan yang awet ya teh, padahal pacar aku tadinya mau ke sini bantuin aku ngerjain tugas, tapi karena hujan kyknya nggak jadi deh.."

"Masuk yuk,, emang tugas apa? ada yang bisa teteh bantu?", Vanya berusaha menyembunyikan perasaan galaunya atas kalimat yang baru saja dilontarkan teman sekostannya itu.

"hmmm,, tugas praktikum gitu sih teh,, nggak usah kok teh gapapa. Teteh kan lagi sibuk revisi draft kan? hehe.."

"Saya ngerjain draft juga nggga terus-terusan meureun. Serius nih menolak tawaran saya?"

"Serius teh, saya nggak enak banyak repotin teteh melulu. Yaudah saya ke kamar dulu, daaahhh.."

"Oke..oke.. selamat mengerjakan tugas, daaaahh"

Merekapun kembali ke kamar masing-masing.

Jam setengah delapan.

Hujan masih saja deras. Sambil memeluk boneka Winnie The Pooh, Vanya pun memutar musik instrumen kesayangannya dan mengantarkan dia dalam lamunan kisah yang dia alami beberapa bulan yang lalu.

* * *

Waktu itu hujan masih gerimis, pulang dari acara buka puasa bersama yang diselenggarakan HIIMA jurusan. Ketika akan pulang, dia sadar bahwa cuma dia sendiri yang tidak ada tebengan pulang. Acara buka bareng ini memang diselenggarakan di kampus sehingga kendaraan umum tidak mungkin ada menuju ke sana. Teman-temannya perempuan yang lain sudah 'membooking' teman yang bawa kendaraan. Kalau pun ada yang masih kosong baru bisa pulang larut malam karena dia team logistik yang harus beres-beres terlebih dahulu.

Kali ini perempuan berkacama minus itu benar-benar panik. Baterai HPnya sudah low, hujan sudah mulai turun, waktu sudah mulai malam, dan yang paling membuatnya tidak nyaman pacarnya yang sangat protektif berkali-kali sms dan telepon menyuruh dia untuk segera pulang, padahal dia sudah menjelaskan kalau dia sedang jadi MC saat itu, jadi tidak mungkin untuk pulang lebih awal. Sebenarnya dia lelah terus-terusan diperlakukan seperti itu. Dia merasa dia tau apa harus dia lakukan dalam hidupnya. Dia sudah cukup jenuh akan larangan dan perintah begini begitu dari orang yang selalu bilang sayang dan percaya padanya. Namun, karena keinginannya untuk berusaha memahami kembali sang pacar sehingga cara nurut-lah dia ambil. Terkadang dia ragu apa dia masih merasakan "rasa" yang sama seperti dulu atau sudah beralih ke kasihan.
Masih dalam gelisah, akhirnya dia memilih untuk menunggu teman-teman team logistik.

Satu persatu teman-teman perempuan mulai pulang setelah pamit & minta maaf karena tidak bisa menemani dia, karena semua teman-teman perempuan yang hanya berjumlah lima orang berasal dari Bandung, jadi tidak mungkin kalau pulang terlalu malam.

Satu teman perempuan yang belum pulang tiba-tiba minta tolong dia untuk minta anter ke Fakultas sebelah. Dia mau pulang bareng adiknya yang katanya lagi ada acara buka bareng juga di sana. Tanpa pikir panjang dia mengiyakan mengantar temannya itu dengan catatan dia minta dianter balik lagi ke tempat asal.
Saat akan kembali ke tempat asal, dia tanpa sengaja bertemu temannya, Ditia yang memang anak fakultas sebelah. Mereka bertegur sapa dan berbincang sebentar karena sudah lama tidak bertemu. Dalam perbincangan itu terlontar tawaran Ditia untuk mengantarkan Vanya pulang. Setelah berfikir sejenak, vanya menerima tawaran itu.

"Ehmm,,boleh deh, dari pada saya pulang terlalu malam juga nunggu teman-teman yg masih beres-beres, makasih ya sebelumnya."

"Yup, sama-sama."

Setelah mengabari temannya yang team logistik, dia pun pulang diantar Ditia.
Sesampai di kostan, alangkah terkejutnya dia didapatinya Riko sedang berdiri di depan bangunan kostan. Melihat ada laki-laki yang sudah pasti menunggu orang yang dia bonceng, tak ada perbincangan lagi dia langsung pamit.

"Itu pacarmu kan Van? Saya langsung pulang saja ya.. Assalamu'alaikum."

Sepintas terlihat perubahan ekspresi muka Ditia. Namun, hal itu dilupakannya seketika karena ada ekspresi yang lebih membuat dia benar-benar ruwet.

"Iya,, ya sudah hati-hati ya.. Wa'alaikumsalam."

Dengan perasaan pasrah dan siap "diceramahi" dia menghampiri orang yang sepertinya menunggu cukup lama itu. Dan memang terjadi perdebatan cukup panjang diantara mereka. Hingga kali ini perempuan yang memang sudah cukup jenuh itu tidak bisa terima lagi perintah, larangan dan alasan-alasan pria bertubuh atletis tinggi putih yang over protektif terhadapnya. Dia bosan, dia cape, dia jenuh, dan dia merasa terhina atas ucapan-ucapan yang terlontar terhadapnya.

Akhirnya perdebatan itu diakhiri dengan tetesan air mata Vanya yang benar-benar lelah. Sebagai laki-laki, yang berstatus pacarnya, Riko merasa sangat bersalah karena membuat menangis.

"Jujur saya sudah lama tidak nyaman dengan sikap kamu yang seperti ini. Mungkin ini sudah cukup membuat saya berfikir bagaimana cara kamu memandang saya. Seperti yang saya bilang berulang kali, saya ya seperti ini, kamu seperti tidak bisa menerima dan memaksa saya seperti yang kamu inginkan. Udah banyak kesempatan yang saya berikan tapi kamu tetap begitu. Untuk kali ini maaf saya sudah cape karena saya bukan robot. Saya punya perasaan. Hmm.. lebih baik kamu silahkan pulang. Sudah terlalu malam. Saya tidak mau besok saurnya telat. Assalamu'alaikum."

Riko cuma bias mematung melihat perempuan yang selalu ingin terlihat kuat masuk ke dalam dan meninggalkan orang yang pernah membuatnya nyaman di teras depan kostannya itu.

Di dalam kamar Vanya menangis. Dia sedih. Dia kecewa. Dari sini dia sadar apa arti sayang sesungguhnya, arti mengerti sesungguhnya dan arti memahami sesungguhnya. Dan bukan yang seperti itu yang dia harapkan.

Tiba-tiba handphonenya berbunyi ringtone SMS.

Van, km gpp? Tba2 perasaan sy tdk enak. Saya harap kamu baik-baik saja. Mf ya sebelumnya..

Hmm.. Alhmdllh Van baik2 aja qo.. Mkasih ya Ditia ^_^

Hmff.. syukurlah.. brrti ini hny prasan sy sja..

"Maaf untuk saat ini saya tidak bisa berbagi dengan siapa pun dulu", ucapnya lirih.

Dua jam kemudian, dia mulai terlelap dengan pikiran yang masih galau dan matanya yang basah akibat tetesan air mata yang tidak dapat ia bendung lagi.

* * *

Satu bulan dengan statusnya yang umum dibilang jomblowati, sesekali dia merasa kesepian karena sudah jarang dia menerima perhatian ekstra yang biasa dia peroleh tiap saat. Tapi jika teringat akan ‘hal yang berlebihan’ itu, segera dia buang jauh-jauh rasa kesepian itu. Pasca berakhirnya hubungan spesial dia dengan "mantannya", memang ada beberapa laki-laki lain yang ingin dekat dengan dia. Tapi keraguan & ketakutannya dalam 'kisah' sebaelumnya membuat tak ingin menaruh perasaan lebih pada siapa pun. Jika hanya sekerdar teman ngobrol, jalan, tukar pikiran dan anter sana sini masih bias dia terima, namun untuk berhubungan dekat yang lazimnya disebut pacaran ada kata tidak siap dalam hati kecilnya. Termasuk orang yang paling awal tahu dia berganti status menjadi jomblowati, Ditia.

Seolah situasi yang sudah diatur rapi. Beberapa moment yang tanpa sengaja mempertemukan Vanya dan Ditia. Mulai dari seringnya mereka bertemu di kantin yang memang berada di antara fakultas mereka berdua, hingga tanpa sengaja mereka satu kepanitiaan sebuah acara dalam lingkup universitas. Karena mereka dalam satu seksi yang sama pada kepanitian tersebut, komunikasi dan pertemuan jadi lebih sering. Hingga acara dari kepanitian tersebut selesai, komunikasi mereka terus berlanjut. Berawal dari tukeran saling add Facebook, SMSan, saling telepon hingga chating via Yahoo Messanger mereka lakukan. Hingga suatu saat, Ditia mengungkapkan bahwa dia menaruh perasaan lebih pada Vanya. Untungnya Ditia menyampaikan pesan hatinya itu via telepon, jadi ekspresi terkejut yang kadang terilhat bodoh dari seorang Vanya tidak terlihat.

Ehmm,, mungkin terlalu cepat saya mengutarakan apa yang saya rasakan ke kamu. Tapi itulah yang saya rasakan saat ini.”

oh.. gitu ya.. eh.. em.. eu.. sebenernya Van juga merasa nyaman saat ngobrol, tukar pikiran, becanda sama Didit… emmm..tapi…”

Seakan tahu kalimat yang selanjutnya akan diucapkan lawan bicaranya, Ditia langsung memotongnya dengan suara yang sangat halus.

“Vanya… saya cuma mengutarakan saja kok, karena saya tidak mau jadi orang munafik.”

“Oh,, okay..

Hening.

Tahu perbincangan semakin canggung, Vanya berinisiatif membuka obrolan lain.

Emm.. gimana UTSnya kemarin?”

“Eh, oh.. ya begitulah. Saya memang kurang persiapan jadi ya sesuai saja dengan apa yang saya hadapi.”

Obrolan pun kemudian berlanjut ke masalah perkuliahan. Sesekali terdengar tawa ringan dari mulut Vanya.

“Syukurlah dia fleksibel dan tidak ngotot. Hmmm.. harusnya tadi tidak mengucapkan kata ‘tapi’.. hhfff,, kenapa saya jadi menyesal gini? Akh..lupakan..” batinnya.

* * *

Pagi-pagi sekali sekitar pukul setengah enam, ringtone musik ‘Thanks God I Found You’ berbunyi dari Handphone Vanya yang cukup membangunkan dia.

“Halo, Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam. Kok tumben pagi ini nggak bangunin saya sholat subuh?”

“Hah, emang jam berapa sekarang?”

“Jam setengah enam.”

“Waduh…kok cepet banget sih paginya..padahal kayaknya baru banget Van tidur. Eh, maaf ya nggak bangunin, Van aja baru bangun sekarang hehe.”

Okay..yaudah sholat subuh dulu sana. Mumpung matahari belum muncul.”

Nggak mau ah.. males…”

Hening.

“Hahahaha… Van lagi dapet ‘dispensasi’ Didiiitt…”

“Dispensasi??”

“Ah.. masa nggak ngerti sih. Kalau ‘palang merah’ tau?”

“Tau. Tempat donor darah dan periksa golongan darah kan?”

“Iiiihhh,, atuhlah..Ditiaaa,,”

“Hahahaha.. iya..iya saya ngerti kok.. seneng aja ngebecandain kamu”.

“Dasaaaarrr.”

Begitulah tidak ada yang berubah dari mereka sejak tiga bulan yang lalu Ditia mengungkapkan perasaannya itu. Obrolan via SMS, Chating dan telepon dirasakan mengalir begitu saja. Hingga tanpa sada Vanya mulai merasakan sesuatu yang dulu sempat hilang, kini hadir kembali. Meski mulutnya sering berucap,

Nggak mau jatuh cinta lagi, karena nggak mau dikecewain dan disakitin lagi.”

Tapi yang namanya perasaan dan hati memang bukan sang pemiliki sepenuhnya yang mengatur. Ada Yang Maha Kuasa yang dapat mengatur segalanya. Hingga suatu saat iya tertegun, ketika beberapa waktu yang cukup lama Ditia tidak menghubungi dia seperti biasanya. Dalam hati dia bertanya-tanya, kenapa dia begitu gelisah? kenapa dia ingin mengetahui Ditia lagi ngapain dan kemana saja? Kenapa perasaan ini muncul? Dan akhirnya dia mulai sadar bahwa hatinya yang telah tertutup kini terbuka kembali. Dia merasakan kenyaman lain saat bersama Ditia. Tapi kembali dia berfikir kenapa dia sadar saat Ditia mulai meredup. Sungguh tiba-tiba dia ingin teriak & memaki diri sendiri. Dia bimbang dan dia masih belum yakin sepenuhnya.

“Mungkin saatnya kamu membaca hati!”, ujanya sambil memandangi sesosok manusia amat mirip dengannya di balik cermin.

Selang beberapa hari setelah sadar akan kegelisahannya, saat itu tengah malam, Vanya baru selesai mengerjakan tugas kuliahnya. Kemudian tangannya dengan sigap mengarahkan ‘tanda panah’ pada desktop di layar monitor laptopnya menuju icon Yahoo Messanger dan melakukan double klik. Namun, baru hitungan detik dia online, tiba-tiba saja ada message masuk dalam bentuk suatu box window yang kali ini membuat jantungnya cukup berdegup kencang.

Kevin Costner : “hai,,”

Van-annoy : “eh, ada didit…”

Yups, tidak salah lagi Ditia menyapanya kembali, dan masih seperti chating-chating sebelumnya mereka berbincang dan bertukar fikiran yang diselingi candaan. Hingga suatu saat terlontar kalimat yang kembali membuat Vanya terdiam.

Kevin Costner : “Van, gmna kalo Sy hero yg kmu tunggu itu? o:-)

Van-annoy : “??”

Van-annoy : “ah,, kmu ini..yg ada sy yg jd berubah heronya,, hahaha”

Kevin Costner: “hahaha,, iya juga sih.. kamu kan wanita perkasa.. ngangkut drum aja kuat,,,:-p"

Sepuluh menit tanpa perbincangan. Vanya bingung dan resah.

Kevin Costner: “Van, Sy off dulu ya..”

Van-annoy : “okay..”

Setengah jam Vanya dalam gelisah.

“Kenapa tadi malah Van becandain ya..? Tapi dia lagi serius gitu? Kalau cuma candaan juga gimana? Lagian mungkin perasaan dia udah nggak sama seperti tiga bulan yang lalu…hhhfff..”, batinnya.

Tiba-tiba saja handphonenya berdering dengan nada ringtone favoritnya ‘Thanks God I Found You’. Di layar handphonenya nampak sebuah foto sesosok laki-laki yang baru saja meninggalkan dia di salah satu media di dunia maya.

“Halo, Assalamu’alaikum..”

“Wa’alaikumsalam..”

“Eh, ari kamu pergi dari dunia maya, datang dari dunia seluler… hehe. Ada apa Dit?”

“Hahaha,, gak papa.. Ingin aja nelepon kamu, atau kamu udah mau tidur?”

“Belum sih.. da belum ngantuk juga..”

Hening.

“Didt.. “

“hmmmm..”

“Ih ari kamu teh gimana, kamu yang nelepon malah diem.”

“Bingung saya Van..”

“Hmmm.. gini deh boleh Van nanya?”

“Apa?”

“Didit udah makan?”

“Udah.”

“Didit udah minum obat?”

“Minum obat? Siapa yang sakit?”

“Didit. Habisnya kamu kayak yang lagi linglung gitu. Hahahha”

“Hahahaha.. “

Hening kembali.

“Van..”

“iya..”

“Kamu udah minum obat?”

“Hah? Eu..belum kayaknya.”

“Pantesan biasanya nyerocos, sekarang malah diem aja.”

“Lagi gelisah.”

“Kenapa?”

“Gara-gara Didit..”

“Saya?”

“Iya, Didit ngajakin Van begadang tanpa alasan yang jelas alias diem aja.”

“Begadang?”

“Didiiit… Sekarang udah jam dua pagi lho..”

Hmmm.. iya sih.. Emmm,, saya boleh nanya?”

“Apa?”

“Tempat kamu penelitian nanti bukan di kampus ya?”

“Iya.. trus?”

“Lama?”

“emm… dua sampai tiga bulan kayaknya. Kenapa gitu?”

“Hmmm.. berarti nanti kamu bakal jauh dari saya.”

“Hahahaha,,, kamu ini ada-ada saja.”

“Ini nggak mengada-ngada kok.. Saya serius sama kamu.”

“Diit.. Van juga inginnya bilang itu..”

“Maksudnya?”

Emmm.. waktu tadi kamu bilang ‘gimana kalau saya hero yang kamu tunggu itu’, Van ingin bilang ‘itu yang Van inginkan’.”

“Jadi..”

“Iya.. Vanya ‘terima’ Ditia.”

Keheningan cukup lama diantara mereka berdua,

Hmm… Makasih ya Van..”

“Iya.. Sama-sama.”

“Tapi mungkin Saya nggak bakalan sering menemui kamu.”

“Iya Van tau kok..Emang Didit berangkat ke Bogor kapan?”

“Hari Senin minggu depan dan mungkin penelitian Saya bisa memakan waktu sampai enam bulan.”

Never mind.. Kalau Ditia kenal Vanya, Vanya nggak mempermasalahkan jarak atau pun intensitas Ditia mengunjungi Vanya.”

“Ehem..Okay..”

“Kan kebahagian bukan dari seberapa sering dan seberapa dekat jaraknya. Tapi ketulusan dan keikhlasannya.”

“Satu lagi Van.. Berbagi.”

“Iya..hehe..”

“Yaudah Vanya tidur gih..

“Iya.. Eh, berarti Van udah ‘pensiun’ dari title jomblowati atuh.. hihihi..”

“Iya..terserah Van aja..”

“Kok terserah?”

“Iya Van..apapun itu. Yang jelas Van udah bilang ‘terima Ditia’.”

“Wow.. nggak salah denger barusan Didit menyebut ‘Ditia.”

“Hehe..Aneh ya..”

“Sedikit, hehe… Ya udah kalau gitu Van istirahat dulu ya.. Assalamu’alaikum.”

Wa’alaikumsalam.”

Setelah menyimpan Handphonenya, Vanya pun mematikan laptop yang dari tadi menemaninya dengan musik tradisional instrument salah satu music favoritnya. Setengah jam kemudian dia sudah terlelap dalam mimpi indahnya.

* * *

Tok..Tok..Tok..

Teh Vanyaaa..!”, terdengar suara perempuan di balik pintu kamar kost Vanya.

Astagfirullah…”, Vanya tersadar dari lamunannya.

“Ya..Masuk aja nggak dikunci kok..”

“Teh, aku pinjem buku Ekonomi Teknik dong, ada tugas analisis ekonomi nih..”

“Oh, boleh.”

Setelah menerima buku yang dimaksud perempuan yang kamarnya bersebelahan degan Vanya itu kembali ke kamarnya.

Sejenak Vanya melihat kea rah jam dinding. Jarum pendek sudah menunjuk celah antara angka 8 dan 9, sedangkan jarum panjang menujuk angka 7.

Hmm,, sepertinya tidak jadi datang. Lagian masih hujan juga.”

Kemudian dia mulai mencopot kerudungnya dan bersiap-siap berganti pakaian dengan piyama pink yang menggantuk di balik pintu kamarnya itu. Namun, tiba-tiba ringtone SMS dari handphonenya berbunyi.

Van, sy udah di dpn kostan kmu.

Seketika wajahnya yang kusut berubah jadi sumeringah. Seyuman yang sempat memudar kini menghiasi wajahnya kembali. Diraihnya kerudung instan dan kacamata yang baru saja dia lepas.

“Haloo..kirain nggak jadi. Maksain pisan hujan-hujan gini.”

“Jadi nggak suka nih Saya dateng?”, goda laki-laki bersuara lembut versi telinga seorang Vanya.

“Ya bukan gitu, kasiah aja hujan-hujanan.”

“Sekalian aja, terlanjur basah hehehe..” ujarnya ‘ngeles’ sambil membuka botol minuman kesukaan mereka berdua.

“Nih, mau nggak?”

“Mau.. tapi buat Diditnya?”

“Saya beli dua kok..”, sambil mengambil sebotol minuman sama yang satunya lagi dari tasnya.

Makasih ya…” kali ini senyumnya Vanya benar-benar manis.

Malam itu teasa sangat indah bagi seorang Vanya. Germercik suara hujan menemani dua insan yang sudah lama tidak bertemu itu seolah menjadi lantunan music instrument bernada tujuh wana.

Setelah dua jam terlena dalam obrolan ringan yang selalu diselingi candaan yang membuat mereka tertawa renyah, saatnya mereka berpisah jarak kembali dalam waktu yang tidak sebentar.

“Van, sepertinya hujannya akan tetap begini. Saya pulang aja ya..”

“Iya juga sih.. Bener mau pulang ke rumah? Nggak akan nginep di kostan temen di Jatinangor aja?”

“Nggak ah,, Saya ingin tidur enak malam ini. Lusa saya harus berangkat lagi, jadi harus siapkan stamina yang baik.”

“Oh,, okay. Eh, tunggu sebentar ya..”

Vanya bergegas ke kamarnya mengambil sesuatu yang telah dipersiapkan sebelumnya.

“Ini buat Ditia.. Vanya buat sendiri lho..”

“Oh ya..Makasih ya.. Jadi langsung berfungsi nih..” sahutnya sambil melilitkan syal di lehernya, pemberian perempuan yang tersenyum puas di depannya.

Setelah berpamitan dan mengucapkan salam dan lagi-lagi diringi senyuman manis Vanya, Ditia pun pulang di tengah gerimis hujan meninggalkan kostan perempuan yang punya hubungan special dengannya itu.

“Meski jarang ketemu, kamu sudah cukup membuatku tersenyum..”, ucap Vanya lirih melihat laki-laki yang membuatnya berdebar kencang itu mengendarai motornya menjauh dari padangannya.

-selesai-



[ditegaskan, cerita ini hanya cerita fiktif belaka, mohon maaf jika ada kesamaan nama tokoh dan latar cerita]

Jatinangor, tujuhsampaidelapanmeiduaribusepuluh

_Vivi Switenia, seorang perempuan yang selalu ingin tersenyum_

0 Comments:

Post a Comment



Template by:
Free Blog Templates